Rumah Tangga Nabawi
1.
Khadijah binti Khuwailid Radliyallahu ‘anha
2.
Saudah binti Zam’ah Radliyallahu ‘anha
3.
‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq Radliyallahu ‘anhuma
4.
Hafshah binti ‘Umar bin Al-Khaththab Radliyallahu
‘anhuma
5.
Zainab binti Khuzaimah Radliyallahu ‘anha
6.
Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah Radliyallahu ‘anha
7.
Zainab binti Jahsy bin Rayyab Radliyallahu ‘anha
8.
Juwairiyyah binti Al-Harits Radliyallahu ‘anha
9.
Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan Radliyallahu
‘anhuma
10.
Shafiyah binti Huyai bin Akhtab Radliyallahu ‘anha
11.
Maimunah binti Al-Harits Radliyallahu ‘anha
Mereka inilah para wanita yang pernah
dinikahi Rasulullah Saw. dan beliau hidup bersama mereka. Ada dua orang
diantara mereka yang meninggal dunia saat beliau masih hidup, yaitu Khadijah
dan Zainab binti Khuzaimah, yang berarti beliau meninggal dunia dengan
meninggalkan sembilan lainnya menjadi janda.
Sedangkan dua wanita lainnya tidak
hidup bersama beliau, salah seorang di antaranya dari Bani Kilab dan satunya
lagi dari Kindah, yang dikenal dengan nama Al-Juwainiyah. Namun ada perbedaan
pendapat mengenai masalah ini, dan kami tidak perlu memperbincangkannya lebih
lanjut.
Adapun wanita yang beliau nikahi bukan
sebagai wanita merdeka adalah Mariyah Al-Qibthiyah, yang dihadiahkan
Al-Muqaiqis dan melahirkan putra beliau, Ibrahim, namun kemudian meninggal dunia
selagi masih kecil di Madinah semasa hidup beliau, pada tanggal 28 dan 29
Syawwal 10 H, bertepatan dengan tanggal 27 Januari 632 H. Selain Mariyah adalah
Raihanah binti Zaid An-Nadhiriyah atau Al-Qurzhiyah, yang sebelumnya termasuk
tawanan Qurazhah. Beliau memilihnya untuk diri beliau sendiri. Ada yang
berpendapat dia juga termasuk istri beliau, yang dimerdekakan lalu dinikahi.
Pendapat pertama ditegaskan Ibnul Qayyim. Sedangkan Abu ‘Ubaidah menambahi dua
wanita lainnya, yaitu Jamilah yang termasuk tawanan dan Jariyah yang
dihadiahkan Zainab binti Jahsy kepada beliau.(Lihat, kitab Zaadul Ma’ad, 1/29.)
Siapa pun yang mengamati kehidupan
Rasulullah saw. ini tentu mengetahui secara pasti bahwa perkawinan
beliau dengan sekian banyak wanita ini, justru pada masa-masa akhir hidup
beliau, setelah melewati 30 tahun dari masa muda beliau, yang pada masa itu
hanya bertahan bersama wanita yang justru lebih tua, yaitu Khadijah lalu
Saudah, tentu dia mengetahui bahwa perkawinan ini tidak sekedar didorong
gejolak di dalam diri dan mencari kepuasan dari sekian banyak wanita, tetapi
disana ada berbagai tujuan yang hendak diraih dengan perkawinan tersebut.
Tujuan yang bisa dibaca, mengapa
beliau berbesan dengan Abu Bakar dan Umar, dengan menikahi Aisyah dan Hafshah,
mengapa beliau menikahkan putri beliau, Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib,
Ruqayyah kemudian disusul Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan, mengisyaratkan
bahwa beliau ingin menjalin hubungan yang benar-benar erat dengan empat orang
tersebut, yang dikenal paling banyak berkorban untuk kepentingan Islam pada
masa-masa krisis, yang berkat kehendak Allah akhirnya masa-masa krisis ini
dapat dilewati dengan selamat. (diringkas dari Syaikh Shafiyyurahman
Al-Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum -Sirah Nabawiyah-, hlm. 578-581; cet
ke-39, Nov 2013; Jak-Tim: Pustaka Al-Kautsar)
Muhammad Muda Sang Penggembala Kambing
Pada awal masa remaja, Rasulullah saw.
tidak mempunyai pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan beliau
biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa’d dan juga di Makkah dengan
imbalan uang beberapa dinar.(Fiqhus-Sirah, Muhammad Al-Ghazali, hal.
52)
Pada usia dua puluh lima tahun, beliau
pergi berdagang ke Syam menjalankan barang dagang milik Khadijah. Ibnu Ishaq
menuturkan Khadijah binti
Khuwailid adalah seorang
wanita pedagang, terpandang
dan kayaraya. Dia biasa menyuruh
orang-orang menjalankan barang dagangannya, dengan membagi sebagian hasilnya
kepada mereka. Sementara orang-orang Quraisy memiliki hobi berdagang. Tatkala
Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas dan
kemuliaan akhlak beliau, maka dia pun mengirimkan utusan dan menawarkan kepada
beliau agar berangkat ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap
memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan
kepada pedagang yang lain. Beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang
bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran ini. Maka beliau berangkat ke Syam
untuk berdagang dengan disertai Maisarah.(Sirah An-Nabawiyah, Ibnu
Hisyam, 1’187-188)
Menikah dengan Khadijah
Setibanya di Makkah dan setelah
Khadijah tahu keuntungan dagangannya yang melimpah, yang tidak pernah
dilihatnya sebanyak itu sebelumnya, apalagi setelah pembantunya, Maisarah,
mengabarkan kepadanya apa yang dilihatnya pada diri beliau selama menyertainya,
bagaimana sifat-sifat beliau yang mulia, kecerdikan dan kejuuran beliau, maka
seakan-akan Khadijah mendapatkan barangnya yang pernah hilang dan sangat
diharapkannya. Sebenarnya sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang
hendak menikahinya. Namun dia tidak mau. Tiba-tiba saja dia teringat seorang
rekannya, Nafisah binti Munyah. Dia meminta agar rekannya ini menemui beliau
dan membuka jalan agar mau menikah dengan Khadijah. Ternyata beliau menerima
tawaran itu, lalu beliau menemui paman-paman beliau. Kemudian paman-paman
beliau menemui paman Khadijah untuk mengajukan lamaran. Setelah semuanya
dianggap beres, maka perkawinan siap dilaksanakan. Yang ikut hadir dalam
pelaksanaan akad nikah adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Hal ini
terjadi dua bulan sepulang beliau dari Syam. Maskawin beliau dua puluh ekor
onta muda. Usia Khadijah sendiri empat puluh tahun, yang pada masa itu dia
merupakan wanita yang paling terpandang, cantik, pandai, dan sekaligus kaya.
Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Rasulullah saw. Beliau tidak
pernah menikahi wanita lain sampai Khadijah meninggal dunia.
Semua putra-putri beliau, selain
Ibrahim yang dilahirkan Mariah Al-Qibthiyah, dilahirkan dari rahim Khadijah.
Yang pertama adalah Al-Qasim, dan dengan nama ini pula Rasulullah dijuluki Abul
Qasim, kemudian Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah dan Abdullah. Abdullah ini dijuluki Ath-Thayyib dan
Ath-Thahir. Semua putra beliau meninggal
dunia selagi masih kecil. Sedangkan
semua putri beliau sempat menjumpai Islam dan mereka masuk Islam serta ikut
hijrah. Hanya saja mereka semua
meninggal dunia selagi beliau masih hidup, kecuali Fathimah. Dia meninggal dunia selang 6 bulan
sepeninggal beliau, untuk bersua dengan beliau.(Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam,
1/190-191; Fiqhus-Sirah, Muhammad Al-Ghazali, hal. 60; Fathul-Bari, 7/507.
Ada sedikit perbedaan di antara beberapa buku referensi. Yang kami (Syaikh
Al-Mubarakfuri) tulis di sini adalah pendapat paling kuat)
Khadijah Menzamani Renovasi Ka’bah dan
Pengambilan Keputusan
Pada usia tiga puluh lima tahun,
orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka’bah. Tatkala pembangunan sudah
sampai di bagian Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak
mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad itu di tempatnya semula.
Perselisihan ini terus berlanjut selama empat atau lima hari, tanpa ada
keputusan. Bahkan perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja menjurus
kepada pertumpahan darah di tanah suci. Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi
tampil dan menawarkan jalan keluar dari perselisihan di antara mereka, dengan
menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk lewat pintu
masjid. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang berhak tersebut
adalah Rasulullah saw. Tatkala mengetahui hal ini, mereka
berbisik-bisik, “Inilah Al-Amin. Kami ridha kepadanya. Inilah dia Muhammad.”
Setelah mereka semua berkumpul di
sekitar beliau dan mengabarkan apa yang harus beliau lakukan, maka beliau
meminta sehelai selendang lalu beliau meletakkan Hajar Aswad tepat di
tengah-tengah selendang, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang saling
berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang, lalu memerintahkan mereka
secara bersama-sama mengangkatnya. Setelah mendekati tempatnya, beliau
mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula. Ini merupakan cara
pemecahan yang sangat jitu dan diridhai semua orang.
Dimanakah peran Khadijah dari
peristiwa itu dan peristiwa-peristiwa selanjutnya? Maka ia-lah istri yang setia
mendukung sang suami untuk mendamaikan kaumnya. Apa jadinya jika Rasulullah
menikah dengan seorang wanita yang individualis, yang mendukung suami hanya
ketika menumbuh kembangkan kebaikan rumah tangganya semata tanpa memperhatikan
kebaikan untuk tetangga, saudara, keluarga, bangsa dan negara.
Rasulullah di Gua Hira
Dari beberapa hasil pengamatan
Rasulullah saw. sebelum itu
telah membentangkan jarak
pemikiran antaradiri beliau
dengan kaum beliau. Selagi usia Rasulullah saw. hampir mencapai empat
puluh tahun, sesuatu yang paling disukai adalah mengasingkan diri. Dengan
membawa roti dari gandum dan air beliau pergi ke Gua Hira di Jabal Nur, yang
jaraknya kira-kira dua mil dari Makkah, suatu gua yang tidak terlalu besar,
yang panjangnya 4 hasta dan lebarnya antara 3/4 hingga 1 hasta. Kadang-kadang
keluarga beliau ada yang menyertai ke sana. Selama bulan Ramadhan beliau berada
di gua ini, dan tak lupa memberikan makanan kepada setiap orang miskin yang
juga datang ke sana. Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan
keagungan alam di sekitarnya dan kekuatan tak terhingga di balik alam. Beliau
tidak pernah merasa puas melihat keyakinan kaumnya yang penuh kemusyrikan dan
segala persepsi mereka yang tak pernah lepas dari tahayyul. Sementara itu, di
hadapan beliau juga tidak ada jalan yang jelas dan mempunyai batasan-batasan
tertentu, yang bisa menghantarkan kepada keridhaan dan kepuasan hati beliau.
Jibril Turun Membawa Wahyu
Selagi usia beliau genap 40 tahun,
suatu awal kematangan dan ada yang berpendapat bahwa pada usia inilah para
rasul diangkat menjadi rasul, mulai tampak tanda-tanda nubuwah yang menyembul
dari balik kehidupan pada diri beliau. Di antara tanda-tanda itu adalah mimpi
yang hakiki. Selama enam bulan mimpi yang beliau alami itu hanya menyerupai
fajar subuh yang menyingsing. Mimpi ini termasuk salah satu bagian dari 46
bagian dari nubuwah. Akhirnya pada bulan Ramadhan pada tahun ketiga dari masa
pengasingan di Gua Hira’, Allah berkehendak untuk melimpahkan rahmat-Nya kepada
penghuni bumi, memuliakan beliau dengan nubuwah dan menurunkan Jibril kepada
beliau sambil membawa ayat-ayat Al-Qur’an.
Setelah mengamati dan meneliti
berbagai dalil dan perbandingan yang lain, maka memungkinkan bagi kami (Syaikh
Al-Mubarakfuri) untuk membuat ketetapan tentang hari itu, yaitu pada hari
Senin, malam tanggal 21 dari bulan Ramadhan, atau bertepatan dengan tanggal 10
Agustus 610 M. Usia beliau saat itu genap 40 tahun lebih 6 bulan 12 hari
menurut perhitungan kalender Hijriyah, atau 39 tahun lebih 3 bulan 20 hari
menurut perhitungan kalender Syamsiyah.
Marilah kita dengarkan penuturan
Aisyah ra., yang hendak meriwayatkan kepada kita kisah kejadian ini,
yang berbinar karena cahaya dari Allah, menguak tabir kegelapan kekufuran dan
kesesatan hingga dapat mengubah jalan kehidupan dan meluruskan garis sejarah.(diringkas
dari Ar-Rahim Al-Makhtum, hal. 56-64)
Hadis tentang Wahyu Pertama dan Peran
Khadijah
عَنْ
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا
الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ
فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ
حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ
قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى
خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ
حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ
فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ
اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى
بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا
بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ {
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ } فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ
عَنْهُ الرَّوْعُ فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ لَقَدْ خَشِيتُ
عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ
أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ
وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ
خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ
الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ
الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ
شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ
مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى
فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَأَى
فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى
يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ
قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ
وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ
وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ وَفَتَرَ الْوَحْيُ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي
أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ
الْأَنْصَارِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِي
حَدِيثِهِ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ
فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى
كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ
زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { يَا أَيُّهَا
الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ } فَحَمِيَ
الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ تَابَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ وَأَبُو صَالِحٍ
وَتَابَعَهُ هِلَالُ بْنُ رَدَّادٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَقَالَ يُونُسُ وَمَعْمَرٌ
بَوَادِرُهُ.
dari
Aisyah -Ibu Kaum Mu'minin-, bahwasanya dia berkata: "Permulaaan
wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan
mimpi yang benar dalam tidur. Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang
seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi kecintaan untuk menyendiri,
lalu Beliau memilih gua Hiro dan bertahannuts yaitu 'ibadah di malam hari dalam
beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna
mempersiapkan bekal untuk bertahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui
Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua
Hiro, Malaikat datang seraya berkata: "Bacalah?" Beliau menjawab:
"Aku tidak bisa baca". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan:
Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku
dan berkata lagi: "Bacalah!" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa
baca". Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian
melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!". Beliau menjawab: "Aku
tidak bisa baca". Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk
ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)." Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam kembali kepada keluarganya dengan membawa kalimat
wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khawailidh seraya
berkata: "Selimuti aku, selimuti aku!". Beliau pun diselimuti hingga
hilang ketakutannya. Lalu Beliau menceritakan peristiwa yang terjadi kepada
Khadijah: "Aku mengkhawatirkan diriku". Maka Khadijah berkata:
"Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau
adalah orang yang menyambung silaturrahim." Khadijah kemudian mengajak
Beliau untuk bertemu dengan Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul 'Uzza, putra
paman Khadijah, yang beragama Nasrani di masa Jahiliyyah, dia juga menulis buku
dalam bahasa Ibrani, juga menulis Kitab Injil dalam Bahasa Ibrani dengan izin
Allah. Saat itu Waroqoh sudah tua dan matanya buta. Khadijah berkata:
"Wahai putra pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh putra
saudaramu ini". Waroqoh berkata: "Wahai putra saudaraku, apa yang
sudah kamu alami". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuturkan
peristiwa yang dialaminya. Waroqoh berkata: "Ini adalah Namus, seperti
yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku
masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu". Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bertanya: "Apakah aku akan diusir mereka?" Waroqoh
menjawab: "Iya. Karena tidak ada satu orang pun yang datang dengan membawa
seperti apa yang kamu bawa ini kecuali akan disakiti (dimusuhi). Seandainya aku
ada saat kejadian itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekemampuanku".
Waroqoh tidak mengalami peristiwa yang diyakininya tersebut karena lebih dahulu
meninggal dunia pada masa fatroh (kekosongan) wahyu. Ibnu Syihab berkata;
telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Jabir
bin Abdullah Al Anshari bertutur tentang kekosongan wahyu, sebagaimana yang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ceritakan: "Ketika sedang
berjalan aku mendengar suara dari langit, aku memandang ke arahnya dan ternyata
Malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hiro, duduk di atas kursi antara
langit dan bumi. Aku pun ketakutan dan pulang, dan berkata: "Selimuti aku.
Selimuti aku". Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu: (Wahai orang
yang berselimut) sampai firman Allah (dan berhala-berhala tinggalkanlah). Sejak
saat itu wahyu terus turun berkesinambungan." Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih juga oleh Hilal
bin Raddad dari Az Zuhri. Dan Yunus berkata; dan Ma'mar
menyepakati bahwa dia mendapatkannya dari Az Zuhri. (Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Jilid
I [I-IV], Halaman 5-6. Beirut-Libanon: Darul Fikr, 2006)
Selanjutnya,
Khadijah binti Khuwailid menzamani berbagai peristiwa bersejarah lainnya, diantaranya:
1.
Berhentinya wahyu dan
turun kembali
2.
Turunnya surat
Al-Fatihah
3.
Turunnya surat Al-Qalam
4.
Turunnya surat
Al-Muzzammil
5.
Tiga tahun dakwah secara
sembunyi-sembunyi
6.
As-Sabiqunal-Awwalun (yang
terdahulu dan yang pertama-tama masuk Islam). Mereka adalah istri beliau, Ummul
Mukminin Khadijah binti Khuwailid, pembantu beliau, Zaid bin Haritsah bin
Syurahbil Al-Kalby, anak paman beliau, Ali bin Abi Thalib, yang saat itu Ali
masih anak-anak dan hidup dalam asuhan beliau dan sahabat karib beliau, Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Mereka ini masuk Islam pada hari pertama dimulainya dakwah.
Selanjutnya, Ibnu Hisyam menghitung jumlah mereka lebih dari empat puluh orang.
7.
Shalat. Muqatil bin
Sulaiman berkata, “Allah mewajibkan shalat dua rakaat pada pagi hari dan dua
rakaat pada petang hari pada awal Islam, yang didasarkan pada firman Allah Qs.
Al-Mu’min: 55.”
8.
Dakwah secara
terang-terangan. Diantaranya Rasulullah saw. naik ke bukit Shafa.
9.
Menghadapi berbagai
penghadang dan tekanandakwah. Diantaranya perilaku Abu Lahab dan istrinya, Fitnah
Ummu Jamil, kekejaman Abu Jahal dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, penganiayaan tiga
pemuka Quraisy, keganasan dan ancaman Musyrikin Quraisy dan Tipudaya
pemuka-pemuka Quraisy.
10.Pembelaan dan perlindungan
dari Abu Thalib.
11.
Berbagai ejekan yang
menjadi Asbabun Nuzul beberapa ayat Al-Qur’an. Diantaranya ejekan ‘Ash
bin Wa-il, Aswad bin ‘Abdul Muthalib, Nadhar bin Al-Harits, Aswad bin Abdi
Yaghuts, Hakam bin Abil Ash, Abu Jahal, Walid bin Al-Mughirah, Abu Jahal bin
Hisyam, Ubayya bin Khalaf.
12.
Darul-Arqam, tempat
tinggal Al-Arqam bin Abil-Arqam Al-Makhzumi yang berada di bukit Shafa dan
terpencil, menjadi markas dakwah dan tempat pertemuan semenjak tahun kelima
dari nubuwah.
13.
Hijrah ke Habasyah yang pertama,
Khadijah tidak ada dalam daftar nama 10 laki-laki dan 5 perempuan itu.
14.Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Al-Khaththab masuk
Islam.
15.
Pemboikotan dan hijrah
kedua ke Habasyah hingga Islamnya Raja Habsy.(diringkas dari KH.Moenawar
Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw., Jilid IA, hlm.130-515)
Aamul-Huzni
[Tahun Berduka], Kematian Abu Thalib dan Khadijah Menyusul
ke Rahmatullah
Abu
Thalib meninggal pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, selang enam
bulan setelah keluar dari pemboikotan. Kira-kira dua atau tiga bulan setelah
Abu Thalib meninggal dunia, Ummul Mukminin, Khadijah Al-Kubra meninggal dunia
pula, tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari nubuwah, pada usia
enam puluh lima tahun, sementara usia beliau saat itu lima puluh tahun.(Ar-Rahiq,
hal. 127-128)
Khadijah,
Istri yang Senantiasa Dirindukan
Khadijah
termasuk salah satu nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah saw.
Dia mendampingi selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah,
melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan
risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela
menyerahkan diri dan hartanya kepada beliau. Rasulullah saw. bersabda
tentang dirinya,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ
أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا
أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا
مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ
كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ.
Dari
‘Aisyah Radliyallahu ‘anha ia berkata: ApabilaNabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingat Khadijah, beliau selalu memujinya dengan pujian
terbaik.‘Aisyah menceritakan, “Maka pada suatu hari saya merasa cemburu hingga
saya berkata kepada beliau, ‘Alangkah sering engkau mengingat wanita yang ujung
bibirnya telah memerah, padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah menggantikan
untuk engkau yang lebih baik darinya.’ Rasulullah bersabda, ‘Allah ‘Azza wa
Jalla tidak pernah mengganti untukku yang lebih baik darinya, dia beriman
kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang
mendustakan aku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau
memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak
memberikan kepadaku’.”(HR Ahmad, Musnad Ahmad, 3/118)
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي
طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَمُ وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ.
Dari
‘Ali bin Abi Thalib Radliyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam beliau bersabda: “Sebaik-baik wanita (pada zamannya) ialah
Maryam binti Imran, dan sebaik-baik wanita (pada zamannya) ia Khadijah.”
(HR Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, no.3815)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَتَى جِبْرِيلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا
إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ
عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي
الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لَا صَخَبَ فِيهِ وَلَا نَصَبَ وَقَالَ إِسْمَاعِيلُ بْنُ
خَلِيلٍ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اسْتَأْذَنَتْ هَالَةُ بِنْتُ
خُوَيْلِدٍ أُخْتُ خَدِيجَةَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَعَرَفَ اسْتِئْذَانَ خَدِيجَةَ فَارْتَاعَ لِذَلِكَ فَقَالَ
اللَّهُمَّ هَالَةَ قَالَتْ فَغِرْتُ فَقُلْتُ مَا تَذْكُرُ مِنْ عَجُوزٍ مِنْ
عَجَائِزِ قُرَيْشٍ حَمْرَاءِ الشِّدْقَيْنِ هَلَكَتْ فِي الدَّهْرِ قَدْ
أَبْدَلَكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهَا.
Dari ‘Aisyah Radliyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah
aku cemburu kepada salah seorang wanita sebagaimana kecemburuanku terhadap
Khadijah karena seringnya Rasulullah saw. menyebut-nyebutnya.”
‘Aisyah berkata, “Beliau menikahi aku tiga tahun setelah Khadijah meninggal
dunia dan Rabb-Nya ‘Azza wa Jalla memerintahkan beliau atau memerintahkan
Jibril ‘alaihis salam untuk memberi kabar gembira kepadanya bahwa dia akan
mendapatkan rumah terbuat dari mutiara.” (HR Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, no. 3817)
Biografi Singkat Ummul Mukminin Khadijah Al-Kubra Ath-Thaharah
binti Khuwailid
Khadijah binti Khuwailid bin As’ad bin ‘Abdul ‘Uzaa. Nasab
Khadijah dari pihak ibundanya berhimpun dengan nasab Rasulullah Saw.
pada kakeknya yang ketiga, ‘Abdul Manaf. Lahir di Makkah tahun 68 SH. Wanita
sukses yang dipanggil Ath-Thaharah (wanita suci) karena ia senantiasa
menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Tahun 575 M, ia ditinggalkan ibunya.
10 tahun kemudian ayahnya. Ia dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaannya. Pada
awalnya, ia menikah dengan Abu Halah bin Zurarah At-Tamimi, dikaruniai dua anak
bernama Halah dan Hindun. Setelah suaminya meninggal dunia, lalu menikah dengan
Atiq bin ‘A’id bin ‘Abdullah Al-Makhzumi. Suami keduanya pun meninggal dunia.
Dengan demikian, sebelum dinikahi Rasulullah Saw., Khadijah telah menjadi
wanita terkaya di kalangan bangsa Quraisy. Karenanya, banyak pemuka dan
bangsawan bangsa Quraisy yang melamarnya. (diringkas dari berbagai sumber)Wallahu
A’lam.
By Pembina RG-UG
@Kominfo RG-UG PPI 259
Firdaus Pangalengan Angkatan VI
Posting Komentar